Mereka adalah
sekumpulan orang-orang pemuja buku yang berhimpun untuk melakukan upacara buku.
Upacara ini adalah sebuah wujud perayaan yang dilakukan atas nama kecintaan. Dengan
upacara ini mereka menggiring buku-buku untuk menemukan kematangan ‘jiwa’nya,
mendapatkan ruang pengembaraan, melahirkan keturunan-keturunan, dan menjajaki kemungkinan nasib yang membawanya
pada kumpulan masyarakat pembaca tempat ia bersemayam.
Upacara
mereka beragam. Ada yang berupa pengumpulan buku-buku, bincang makna, pendedaran
untuk melahirkan buku baru, hingga dokumentasi rekam jejak lingkungan sekitar. Melalui
upacara ini mereka mengolah daya hidupnya dengan mengusung buku sebagai alat pemujaan.
Para pemuja
buku ini tidak hanya menggelar upacara yang sifatnya eksklusif dalam kelompok.
Mereka juga menebarkan gairah kecintaan pada buku itu pada orang-orang awam
buku di sekitarnya. Sesekali mereka juga membuat sebuah perayaan bersama antar
kelompok sebagai ruang otokritik gerakan dan bertukar kabar serta pengalaman.
Seperti inilah yang dilakukan ajang Temu Sastra 5 Kota helatan Dewan Kesenian
Jombang.
Dari 16 kelompok
para pemuja buku Temu Sastra 5 Kota itu kebetulan titik pijar kecintaannya
adalah buku yang serumpun: sastra. Maka ketika menggelar upacara, ritual mereka
tak jauh dari aroma dupa sastra. Hingga mereka pun tersebut sebagai komunitas
sastra, sekumpulan orang-orang yang mengolah daya hidup dari, untuk, dengan
kesusastraan.
Jalan untuk
mengumpulkan sesama pemuja sastra itu tak semudah menemukan pemuja sepakbola. Ada
yang beruntung menemukan kawan seminat dan kemudian menggandeng yang lain,
hingga kemudian upacara mereka lebih pada pendalaman makna sastra dan
pengolahan daya diri bersusastra. Tapi ada pula yang berjalan dalam kesunyian
tanpa kawan seminat hingga akhirnya merangkul para awam sastra dan
menggiringnya pada kecintaan sastra.
Dua pola
upacara ini yang kemudian menjadi karakter utama kelompok-kelompok pemuja buku
itu. Kelompok yang nguri-uri dan kelompok yang menebarkan virus sastra. Karakter
pertama bisa dilihat pada Komunitas Pena Endhut Ireng, Komunitas
Arek Japan, Komunitas Lembah Pring, Komunitas
Pondok Kopi, Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat Jombang, atau Lingkar Studi Warung Sastra (baca profil mereka). Karakter kedua ada pada
Komunitas
Sastra KOMA Tambakberas, Komunitas
Sanggar Kata, Komunitas Lincak
Sastra, Komunitas Sastra Pesantren Tebuireng, Gelaran Buku: Daar el Fikr,
atau Kelompok Alief Mojoagung.
Kelompok pertama umumnya dipicu oleh
individu-individu yang merasakan kebutuhan ruang apresiasi dan berolah wawasan
tentang kesastraan dengan sesama peminat sastra. Di pedalaman kampung kota-kota
kecil seperti Mojokerto, Jombang, atau Kediri kebutuhan akan hal itu memang
jarang terpenuhi. Dari individu-individu yang merasa kering, haus dan
terpinggir inilah kemudian lahir semangat untuk menghimpun diri.
Kelompok kedua yang tidak menemukan kawan
seminat kemudian lebih termotivasi untuk mengembangkan sayap. Umumnya mereka
menggunakan medium kumpulan masa terorganisir seperti sekolah dan pesantren
sebagai ruang pengembangan gagasan dan gairahnya. Ruang massal ini memberi
kemudahan perekrutan anggota kelompok dibanding mereka yang secara acak
berupaya menggandeng orang-orang awam disekitar tempat tinggalnya. Dari sini
kemudian muncul para peminat sastra baru yang mau menghimpun diri dan melakukan
upacara perayaan.
Ragam upacara yang dilakukan oleh para
pecinta sastra, yang sifatnya nguri-nguri
sastra lebih cenderung pada pengkajian
dan olah daya diri anggotanya untuk berkarya. Maka ritual upacara mereka tak
jauh dari bedah karya, baik itu karya sendiri maupun karya dari luar komunitas.
Mereka membedah karya dari luar komunitas sebagai alat banding sekaligus
perluasan wawasan kesastraan. Bedah karya mereka sendiri sebagai penajaman kualitas.
Karya-karya hasil olah daya diri mereka itu kemudian diujikan pada penerimaan
atau penolakan media massa untuk memuatnya.
Pilihan lain yang mereka lakukan adalah
menciptakan media sendiri baik berupa buku, bulletin, majalah, atau media maya
internet. Dengan media pengabaran karya itu mereka ingin mengetahui sejauh mana
karya mereka direspon kalangan luar kelompok dan bagaimana posisinya diantara
karya-karya lain sejenis.
Sementara para penebar virus sastra memerlukan
pola upacara yang lebih panjang untuk mencapai tahapan seperti kelompok penguri-uri. Ketika mereka mampu
mengumpulkan para awam, tak bisa kemudian menjejalkan sastra begitu saja. Seringkali
para awam ini bukanlah pembaca buku sehingga tahap pertama yang mereka lakukan
adalah mengenalkan buku.
Setelah mengenal buku tak bisa pula langsung
mengajak mereka menulis karya sastra, menulis adalah asing bagi para awam itu. Maka
pelahan mereka kenalkan budaya kepenulisan melalui jurnalistik. Diselingi
dengan dedah karya dari luar kelompok dengan maksud memecut motivasi, mereka
kemudian menggiring kemunculan karya-karya sastra dari kelompok dalam bentuk
puisi, cerpen, atau esai secara lebih khusus. Tak jarang pula mereka mesti
melakukan perluasan medium dengan olah seni lain seperti teater, musik, atau
seni rupa.
Suatu karya yang dihasilkan oleh satu
kelompok menjadi pertaruhan bagaimana karya dan kelompok mereka diperhitungkan
dalam konstelasi di antara komunitas lain. Tak dapat dipungkiri, kemudian
pemuatan media massa turut menjadi salah satu ukuran keberhasilan mereka. Meski
kualitas dan posisi karya sastra media massa juga masih menjadi perdebatan di
kalangan sastra, tapi bagi kelompok-kelompok pinggiran itu menjebol gerbang
redaksi media adalah nilai tambah dan kebanggan tersendiri pula. Lihat saja
bagaimana dalam profil kelompok, mereka dengan rapi menjejerkan karya-karya
yang dimuat oleh media massa.
Tak hanya media massa, penerbitan karya-karya
dalam sebuah buku juga seakan menjadi pendongkrak ‘kasta’ kelompok. Buku yang
dihimpun dari karya anggota kelompok menjadi corong sekaligus batu pelontar sejauh
mana produktifitas kekaryaan mereka. Bila ada anggota kelompok yang karyanya
dihimpun dalam antologi bersama kelompok-kelompok lain maka itu seakan menjadi
legitimasi kenaikan ‘kasta’ si individu penulis maupun kelompoknya.
‘Kasta’ kelompok ini kemudian juga seolah
ditentukan oleh seberapa sering mereka muncul dalam perhelatan-perhelatan
upacara bersama kelompok lain. Jika masih diundang maka mereka seolah dianggap
ada. Jika tidak diundang itu ibarat ancaman eksistensi. Upacara-upacara itu pun
kemudian menjadi semacam pesta. Bukan lagi ajang olah karya dan wawasan tapi
ruang bertemukangen antar komunitas. Di sini, jebakan popularitas itu seakan mengacungkan
celurit ancaman pada ruh upacara kesusastraan yang mereka usung semula.
Seolah dan seakan karena jebakan itu semu.
Kentara tapi tak teraba. Eksistensi tentu perlu, namun kualitas karya juga tak
boleh diabaikan. Maka terus mengolah daya kritis, analitis, dan kemampuan
pembacaan yang lebih luas menjadi syarat mutlak bagaimana kelompok-kelompok itu
bisa mengantarkan individu-individu di dalamnya terus meletupkan kreatifitas. Peningkatan
kualitas tak bisa ditawar jika ingin terus hadir dan memberi warna, bukan hanya
penggembira.
Ukuran kualitas bukan sekedar ditentukan oleh
faktor-faktor seperti media massa, jumlah penjualan buku, frekuensi kegiatan atau
kehadiran dalam upacara-upacara. Kualitas
juga mempertimbangkan sumbangsih apa yang ditawarkan kelompok pada dunia sastra
dan peradaban masyarakat secara lebih luas. Tengoklah misal apa yang dilakukan bocah-bocah
di Gelaran Buku Daar el Fikr. Mereka menulis segala sesuatu mengenai kampungnya dengan pola catatan
harian, puisi, cerpen, dan esai sederhana. Ditulis oleh bocah-bocah kampung
yang awam sastra namun memiliki muatan dan pesan kuat.
Dengan karyanya itu mereka bukan saja
melahirkan karya kesusastraan-yang entah diperhitungkan atau tidak di kalangan
sastra- tapi juga menawarkan sebuah informasi mengenai sejarah dan potensi kampung
mereka yang tak pernah ditulis oleh
sejarawan akademis. Dalam upacara buku para bocah sastrawan kampung inilah terselip
(mengutip slogan Lentera Dipantara) sumbangan dari Indonesia untuk dunia. Sekarang,
pada kelompok pemuja buku yang tengah mencari eksistensi dan jatidiri, ajukan
pertanyaan: Apa sumbanganmu pada peradaban? (*)
Diana AV Sasa, Pengasuh Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, di Surabaya.
0 comments:
Post a Comment