#5BukuDalamHidupku
REPUBLIK INDONESIA
KUTIPAN AKTA NIKAH
KUTIPAN AKTA NIKAH
KANTOR URUSAN AGAMA
NO: 100/26/III/2006
Buku itu kecil saja. Seukuran buku saku. Warnanya hijau
lumut. Ada angka 2979904 tercetak bolong-bolong di sampulnya. Isinya cuma empat
lembar. Tapi empat lembar itu telah membalikkan suratan seorang gadis. Seluruh
hidupnya berubah drastis setelah seorang laki-laki membubuhkan tandatangan di
halaman 5. Yang mana dengan itu ia terikat sumpah;
Sesudah akad
nikah, saya ERP bin K berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati
kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli istri saya bernama
DAV binti NS dengan baik (mus’asyarah bilma’ruf) menurut ajaran syariat islam.
Gadis tomboy berambut cepak itu tak berpikir
panjang ketika laki-laki itu meminangnya. Yang ia tahu, suatu siang di sebuah café
ia bertemu laki-laki itu. Pertemuan pertama setelah komunikasi panjang melalui
seorang sahabat. Pertemuan yang menyita waktu hampir empat jam. Pertemuan yang
menghabiskan dua bungkus kretek Sampoerna A-Mild. Asap mengepul dari mulut dan
hidung gadisi itu. Si lelaki hanya menatap sambil menyorongkan batang
selanjutnya. Cerita-cerita mengalir deras dari bibirnya. Dari politik hingga
urusan cinta. Bak seorang tukang dongeng yang ditanggap. Gadis itu nerocos tak
terbendung hingga malam menjelang.
Malam usai pertemuan pertama, si gadis tomboy menerima
pesan pendek bernada klasik di telepon genggamnya, “sudah tidur?”. Sebuah
sapaan yang ia jadikan taruhan dengan teman-teman satu kos. “Ayo taruhan, pasti
malam ini dia akan kirim sms”. Dan, ketika peristiwa sms itu terjadi seperti
diperkirakan, meledaklah tawa seluruh penghuni kamar. Sebuah tak-tik pendekatan
laki-laki pada perempuan yang tak terlampau sulit untuk ditebak.
Tebakan ke dua pun beredar “Pasti besok pagi dia
sms—sudah makan dik?” Dan benar begitu kejadiannya. “Bilang belum, biar dia
bawakan makanan,” seru mulut-mulut usil itu lagi. Tak salah lagi, menjelang
siang, laki-laki itu datang membawa rangsum. Rejeki yang tak akan disia-siakan oleh
anak kos mana pun.
Seminggu berjalan, pesan-pesan pendek berhamburan. Memasuki
minggu ke dua, mereka bertemu lagi. Pembicaraan sudah mulai mengarah pada
cita-cita dan harapan. Minggu ke tiga, si lelaki ingin berjumpa orang tua si
gadis. Tak banyak pikir, permintaan dituruti. Pertemuan digelar di sebuah cafe.
Dua laki-laki duduk di pojokan nampak akrab dan serius. Si gadis membangun
sendiri percakapan di meja bar dengan para pelayan. Tak lama, si gadis
dipanggil ayahnya.
“Ini tadi bapak sudah bicara sama Mas, nanti
tanggal 30 Desember mas dan keluarganya mau ke rumah,” ujar laki-laki brewok
itu tanpa bertanya atau memberi kesempatan berkelit.
Setengah kaget tak percaya setengah gembira si
gadis cuma diam. Ketika dua laki-laki itu berpamitan, si gadis memilih tinggal
di café. “Hey…aku mau dilamar!” bisiknya pada para pelayan. Lalu menghambur pergi
meninggalkan café. Ia ingin melompat-lompat, ingin menari berputar-putar, namun
kakinya seperti tertancap di lantai. Diseretnya langkah menuju rumah bilyard. Dipanggilnya
teman-teman. Ia habiskan hari itu dalam benturan bola-bola dan tongkat.
Malam sebelum ia berangkat tidur, sebuah pesan
masuk lagi ke telepon genggamnya. “Besok jadi mau hunting?” Ah, nyaris saja lupa,
dia masih belum memutuskan hubungan dengan fotografer yang sudah lama ingin
ditinggalkannya karena hati sudah tak bertaut.
Waktu berjalan cepat. Hari penentuan tiba. Upacara
pinangan digelar pada penghujung tahun. Pesta dihelat tiga bulan kemudian.
Masih tak percaya, si gadis tomboy gamang menjalani
status barunya. Tak biasa dengan keterikatan, ia merasa dunianya menyempit
secara mendadak.Tiba-tiba tak ada lagi kawan-kawan yang mengajaknya menyanyi di
ruangan sempit karaoke. Tak ada lagi yang menghampirinya untuk menari tengah
malam di bawah lampu kerlip-kerlip dan musik berdentum. Tak adalagi yang
menemaninya minum kopi di café dan begadang sampai dini hari. Semua berubah.
Setahun berlalu, si gadis terbaring di meja
operasi. Janin yang dikandungnya tak bisa bertahan lama. Ia bahkan mesti rela
dibedah karena darah tertinggal di luar rahimnya. Kata dokter, kalau tidak mau
dibedah ia akan mati. Sejak itu, si gadis tak diijinkan melakukan aktifitas
berat apa pun. Di rumah saja. Tugasnya menjaga dan merawat rumah. Menyediakan
makanan dan merapikan baju. Bila ingin pergi kemana diantar dan ditunggui
hingga urusan selesai. Lama-lama ia benar-benar tak pernah kemana-mana selain
untuk urusan menemani laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu.
Tahun ke dua terlewati. Gadis tomboy itu rambutnya sudah panjang. Celana jeansnya
sudah tak muat. Kaos oblongnya kesempitan. Bajunya hanya satu model: daster. Badannya
mekar. Perutnya buncit. Ada bayi di dikandungnya. Sembilan bulan kemudian bayi
itu lahir. Namun sejak manusia mungil itu keluar dari perutnya belum sekalipun
ia menggendongnya. Sekali ia pernah cium pipinya beberapa saat setelah brojol
dan masih berlumur darah. Sekali dilihatnya bayi mungil itu ketika ia sudah
bisa berjalan pasca pembedahan ke dua. Namun sekalipun, ia tak bisa menyentuhnya.
Bocah itu tertutup tabung. Selang-selang melilit tubuhnya. Napasnya tersengal.
Tak kuasa melihat semua itu, ia memilih pulang. Semua orang memintanya untuk
tinggal di rumah. Entah apa alasan. Padahal sungguh ia ingin mendekap dan meminjamkan
napasnya pada si jabang bayi. Hanya doa yang bisa ia hembuskan dalam batin.
Sebelas hari setelah bayi itu lahir, bapak brewok datang
membopong bayi yang telah dinamai Raya itu. “Aku ingin menggendongnya,” bisik
si gadis tomboy. Sang jabang bayi pun dipindahkan ke pangkuannya. Ia nikmati gendongan
pertama dan terakhir itu. Karena tak akan bisa diulangnya lagi. Bayi itu telah
berkalang kafan.
Sebulan kemudian, si gadis tomboy tahu bahwa
Toxoplasma lah yang telah merenggut napas Raya, putrinya pertamanya. Setelah
itu ia pun sibuk mengusir penyakit itu dari tubuhnya. Namun ia tak merasa makin
sehat, sebaliknya ia merasa frustasi dan makin lemah. Tak ada aktifitas yang ia
lakukan selain berurusan dengan rumah dan selingkupnya. Ia kehilangan
kawan-kawan yang dulu kerap menghiburnya. Pelariannya hanyalah teman-teman maya
di internet. Itu pun ia lakukan sembunyi-sembunyi ketika suami tak ada di
rumah. Naik sepda butut ia pergi ke warnet seharian.
Tahun ke lima, ia beranikan mencari kawan-kawan
baru. Bertemu para kutu buku. Sedikit demi sedikit ia belajar menulis. Hingga
akhirnya ia pun bisa menerbitkan buku pertamanya. Seperti mendapat mainan baru
ia pun hanyut. Dia mulai sibuk. Dunianya mendadak meluas. Ia temukan kesempatan-kesempatan
baru. Seperti pintu gerbang yang jebol, ia pun membludak. Ia lupa pada Raya,
juga keinginan untuk menghadirkan adiknya.
Adalah ketakutan terbaring di meja operasi, juga
ketakutan akan bayang-bayang napas Raya yang tersengal yang membutanya ciut
untuk mau menyemai benih lagi. Lebih ketakutan lagi ia akan bayangan Raya di
gendongan dengan kafan melilit tubuh. Ketakutan itu yang kemudian membuatnya
berjarak dengan suaminya. Ia melarikan diri pada buku. Mereka menjadi demikian
asing satu sama lain.
Enam purnama sudah keterasingan itu menjejal
diantara mereka berdua. Ketika ketakutan semakin merubungnya, ia merasakan
kesakitan-kesakitan dari emosi yang tak terbendung. Kesakitan yang merembet
dari batin ke tubuhnya. Pada akhir tahun ke lima itu, ia beranikan diri untuk membuang
buku saku bersampul hijau yang mengikatnya bertahun-tahun. Sebagaimana sighat yang tertulis di halaman 5 dan
dibaca laki-laki itu, dulu:
Atau saya
membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri
saya tidak ridha dan mengadukan kepada Pengadialan Agama dan pengaduannya
dibenarkan oleh pengadilan tersebut dan istri saya membayar uang sebesar
Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka
jatuhlah talak saya satu kepadanya (*)
2 comments:
Aduh jadi pengen punya deh... Selamat ya menang :D
Menyentuh sekali membaca sepenggal kisah dari mbak sasa. speechless
Post a Comment